Naik Kelas Dari Puasa Kelas Syariat Menuju Hakikat

Naik Kelas Dari Puasa Kelas Syariat Menuju Hakikat

Oleh : Dr. Hj. Siti Ma’rifah, MM., MH. (DPS Sari Asih Grup)

Puasa syariat  sudah kita lakukan bertahun tahun bahkan sejak kecil. Setelah puluhan tahun, apakah kita tetap berpuasa pada kelas syariat seperti puasanya kebanyakan anak kecil. Setelah berpuluh puluh tahun, sudahkah kita bisa naik kelas? Bisakah kita mendorong diri untuk berpuasa secara lebih filsafati, dimana kita mengajak dan memaksa diri untuk lebih spiritual.

Secara substansial, puasa yang baik harus bisa mengantar diri kita lebih spritual dalam makna bahwa situasi lapar dan dahaga itu dapat mempercepat proses kedekatkan diri kita kepada Allah SWT. Puasa seharusnya bisa mengantar kita untuk lebih sensitive terhadap penjagaan diri akan dosa.

Puasa kita adalah puasa lingkungan, bukan puasa untuk memperhatikan diri sendiri. Puasa yang artinya pencegahan dan pengendalian mestinya bisa mengantar adanya kesadaran otomatis lebih banyak untuk berbuat baik terhadap sesama, lebih bermanfaat kepada lingkungan terkecil dalam keluarga serta tak mendholimi diri dan tak mendholimi masyarakat sekitarnya.

Hakikat tertinggi ibadah puasa adalah capaian spiritual yang lebih bebas, lebih open, tak terikat fiqih ibadah. Sedangkan puasa dalam tataran syariat lebih dekat dengan istilah relegiusitas itu lebih terikat pada aturan atau fiqih seperti misalnya tata aturan shalat, syarat rukun wudhu, ikatan aturan main yang yang harus dilafalkan atau dilakukan seseorang dalam ibadah agar dianggap syah adanya.

Kita melihat bahwa seringkali kita terjebak pada tata aturan puasa, namun tak terlalu perduli dengan hasil atau impact puasa. Memang dalam al Qur’an Allah SWT mewajibkan kita berpuasa agar kita menjadi Muttaqin yaitu orang orang yang taat kepada Nya, namun jangan lupa dalam banyak hal Allah SWT meletakkan orang orang yang muchsinan yaitu orang yang selalu berbuat baik dalam maqam atau derajat yang lebih mulia daripada orang bertaqwa.

Derajat orang orang yang bertaqwa atau Muttaqin itu orang yang taat aturan sedangkan muchsin adalah orang orang yang selalu berbuat baik. Allah SWT lebih menempatkan orang yang berbuat kebaikan lebih pada orang orang yang taat beribadah. bahwa disamping berpuasa syariat kita harus bisa mencapai fadilah puasa secara hakikat.

Jika kita memaknai puasa  masih pada tataran syariat, puasa kelas syariat itu adalah prilaku yang taat aturan fiqih. Kita terjebak apakah puasa kita syah atau batal secara fiqiyah. Sedangkan puasa yang hakiki itu ialah akhlak hasil proses ibadah. Syariat itu lebih pada tata cara ibadah. Puasa kelas atasnya ialah berlanjutnya capaian puasa itu pada akhlak yang mulia. Dengan demikian, puasa kita harus sukses kedua duanya, yaitu membawa kita lebih taat secara fiqiyah sekaligus mendorong kita untuk jadi orang orang muchsin yang sesungguhnya.

Sesungguhnya, dengan menelisik  filsafat puasa, dalam bulan Ramadhan ini kita memang harus mendapatkan dua capaian sekaligus, yaitu capaian religiusitas sekaligus capaian spiritualitas yang tinggi.

Hakikat puasa itu adalah spiritualitas hasil dari proses puasa syariat. Kalau setelah puasa nanti kondisi spiritualitas kita tetap seperti sebelumnya maka sesungguhnya puasa kita hanya berujung hasil lapar dan dahaga saja.

Dalam makna ini, yang dimaksud dengan puasa sejati atau puasa yang hakiki itu ialah situasi dimana kita sudah melaksanakan kewajiban kita terhadap tata aturan  ritual agama sekaligus bisa mendapati diri lebih baik, lebih berguna lagi untuk orang sekitar kita,  lingkungan kecil dan lingkungan besar kita, lingkungan sosial maupun lingkungan keluarga kita.

Kalau kita ingin mengukur diri; apakah puasa kita sudah tingkat tinggi hakikat atau masih tingkat syariat, maka caranya mudah , apakah dengan puasa nanti kehadiran dan keberadaan kita setelah berpuasa itu lebih banyak berguna bagi  mereka atau tidak, kita lebih mementingkan diri sendiri atau peduli pada orang lain yang membutuh kan, lebih ikhlas atau tidak, , lebih bersyukur atau tidak.

Karena itu, marilah kita berniat untuk menjadikan ibadah puasa Ramadhan yang penuh tantangan tahun ini agar bisa 'naik kelas'. Puasa, tidak sekadar menahan haus dan dahaga, tapi juga berpuasa dengan memfokuskan hati dan jiwa kita kepada Allah semata. Marilah kita jadikan Ibadah Puasa kita tahun ini menjadi ibadah puasa terbaik sepanjang hidup kita.

Adapun tanda-tanda puasa orang-orang khusus ada lima:

1. Pertama, menundukkan pandangan dan mencegah keinginan untuk memperluas penglihatan pada segala hal yang tercela dan dibenci serta yang dapat melalaikannya dari mengingat Allah.

Rasulullah bersabda, "Pandangan adalah salah satu panah Iblis." (HR. Al-Hakim).

2. Kedua, menjaga lidah dari berbohong, ghibah, berkata keji, kasar dan segala hal yang dapat menjauhkannya dari mengingat Allah.

Rasulullah bersabda, "Puasa adalah benteng, jika seseorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata keji dan bersikap bodoh. Jika ada seseorang yang mengajaknya berselisih atau mencacinya, maka katakanlah, 'Sesungguhnya saya sedang berpuasa." (HR. Bukhari & Muslim).

3. Ketiga, mencegah pendengaran dari segala hal yang dibenci. Allah berfirman: "Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram." (QS. al-Maidah: 42).

4. Keempat, mencegah anggota tubuh lainnya dari berbuat dosa, khususnya kedua tangan dan kaki. Juga mencegah perut dari memakan hal-hal yang syubhat.

Rasulullah bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi dia tidak mendapatkan pahala dari puasa tersebut kecuali hanya rasa lapar dan haus". (HR. Nasa'i, Ibnu Majah).

5. Kelima, tidak memperbanyak makan saat berbuka, karena maksud dari puasa adalah meredam hawa nafsu untuk menjadikan diri sebagai jiwa-jiwa yang bertakwa.

Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa. Shaumul umum, shaumul khusus, dan shaumul khususil khusus.

Ketiganya bagaikan tingkatan tangga yang menarik orang berpuasa agar bisa mencapai tingkatan yang khususil khusus.

Pertama, shaumul umum, puasa orang awam, yaitu menahan makan dan minum dan menjaga kemaluan dari godaaan syahwat. Tingkatan puasa ini menurut imam Al-Ghazali adalah tingkatan puasa yang paling rendah, kenapa? Karena dalam puasa ini hanyalah menahan dari makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami istri di siang hari.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, puasa orang ini termasuk puasa yang merugi, yaitu berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala melainkan sedikit. Hal inilah yang di ingatkan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya, ”Banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala berpuasa, melainkan hanya lapar dan dahaga”.

Kedua, shaumul khusus, puasanya orang khusus, yaitu selain menahan makan dan minum serta syahwat juga mampu menahan pendengaran, pandangan, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala macam bentuk dosa.

Mari kita renungkan. Selamatnya lisan, adalah selamatnya Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa akibat lisan yang tidak dijaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak butuh kepada puasanya”. (HR. Al-Bukhari no. 1804)

Iman Hasan Al-Bashri berkata, ”Lisan orang mukmin berada di belakang hatinya. Apabila dia ingin berkata, maka ia akan meminta nasihat terlebih dahulu kepada hatinya, barulah ia berucap. Sedangkan lisannya orang munafik berada di depan hatinya, apabila ia ingin berkata, maka ia berkata langsung, tanpa meminta nasihat kepada hatinya”.

Di dalam surat An-Nisa ayat 114 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan menggantinya dengan pahala yang besar.”

Ketiga, shaumul khususil khusus, puasanya khususnya orang yang khusus, yaitu puasanya hati dari kepentingan jangka pendek dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan segala hal yang dapat memalingkan dirinya dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Pahala dan pengaruh ibadah hati lebih besar dibandingkan dengan ibadah fisik. Diantara contohnya ibadah ini adalah tafakkur, tadabbur dan senantiasa merenungkan tentang hidup dan mati serta alam kubur dan hari kebangkitan.

Semoga puasa Ramadhan kita kali ini kita bisa naik kelas,Naik kelas yang dimaksud  adalah pada derajat ketaqwaan sebagai tujuan akhir dari puasa. "Substansi tujuan berpuasa adalah agar naik menjadi muttaqin,".

Ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah sesuai dengan Q.S. Ali Imron: 134 yaitu orang yang menafkahkan hartanya pada jalan kebaikan baik dalam situasi lapang maupun sempit.

Ciri kedua adalah wal kadziminal ghoidzo, yaitu orang yang bisa meredam amarah. "Orang yang bisa mengendalikan amarah adalah yang sehat, karena dia akan selalu memandang kehidupan itu indah dan santai.

Ciri ketiga  adalah walafiina `anin nas, orang yang bisa memberikan maaf pada orang lain. Selain akan memberikan kebahagiaan pada diri sendiri, dengan memaafkan dan membahagiakan yang  kesusahan. Wallahu A'lam Bishawab.


Tips Kesehatan Terkait

Chat Info

Layanan Online atau Tanya Informasi Lainnya. Operasional : 08:00 - 22:00